BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran
tentang hakikat manusia sejak zaman dahulu kala sampai zaman modern sekarang
ini juga belum berakhir dan mungkin tak akan pernah berakhir. Ternyata orang
menyelidiki manusia itu dari berbagai sudut pandang. Ada yang menyelidiki
manusia dari segi fisik yaitu antropologi fisik, adapula yang menyelidiki
dengan sudut pandang budaya yaitu antropologi budaya. Sedangkan yang
menyelidiki manusia dari sisi hakikatnya disebut antropologi filsafat. Pengetahuan
tentang asal kejadian manusia adalah amat penting dalam merumuskan tujuan
pendidikan bagi manusia. Asal kejadian ini justru harus dijadikan pangkal tolak
dalam menetapkan pandangan hidup bagi orang Islam. Pandangan tentang
kemakhlukan manusia cukup menggambarkan hakikat manusia. Manusia adalah makhluk
(ciptaan) Allah adalah salah satu hakikat wujud manusia.
Quraish
Syihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an mengungkapkan pendapat Alexis Carrel
tentang kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia bahwa sebenarnya manusia telah mencurahkan
perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya, kendatipun kita
memiliki perbendaharaan yang cukup banyak dari hasil penelitian para ilmuwan,
filosof, sastrawan dan para ahli bidang keruhanian sepanjang masa ini. Tapi
kita (manusia) hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita.
Kita tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa
manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu, dan ini pun pada hakikatnya dibagi
lagi menurut tata cara kita sendiri.
Satu-satunya
jalan untuk mengenal dengan baik siapa manusia, adalah merujuk kepada wahyu
Illahi (Al-Qur‟an) dan As-Sunnah (Hadits Rosulullah SAW), agar kita dapat menemukan
jawabannya. Bagaimanakah perspektif Al-Qur‟an dan As-Sunnah tentang hakikat dan
fitrah manusia? Makalah ini berusaha mengungkapkan Hakikat dan Fitrah manusia
dalam perspektif Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mengapa manusia memerlukan
pendidikan, dan mengapa manusia bisa di didik. Semoga dengan pembahasan ini
dapat menambah wawasan bagi kita dalam memahami hakikat diri kita sebagai
manusia di muka bumi ini.
B. Rumusan
Masalah
i.
Apa hakikat Allah menciptakan manusia ?
ii.
Bagaimana hakikat manusia menurut Al Qur’an
dan Hadist ?
iii.
Apa kedudukan manusia di muka bumi ini ?
iv.
Apakah tugas dan peran manusia di muka
bumi ini ?
C. Tujuan
i. Mengetahui
hakikat Allah menciptakan manusia,
ii. Mengetahui
hakikat manusia menurut Al-Qur’an dan hadist,
iii. Memahami
kedudukan manusia di muka bumi ini,
iv. Mengetahui
tugas dan peran manusia di muka bumi ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Hakikat Allah Menciptakan Manusia
Manusia
disisi Allah adalah sebagai salah satu ciptaan (makhluk) Allah. Sebagaimana
dalam QS. Al Alaq: 2 “Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” QS.
Al Baqarah : 21 “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.”
Makna
yang paling mendasar yang dapat diambil dari hal ini (manusia sebagai makhluk)
adalah bahwa manusia memiliki kekurangan dan keterbatasan. Sesungguhnya semua
yang diciptakan oleh Allah memiliki kekurangan dan keterbatasan. Sedangkan
Allah Maha Sempurna, tidak memiliki kekurangan, keterbatasan atau
kelemahan.Yang menunjukkan hal tersebut adalah ucapan “Subhanallah”, “Maha Suci
Allah dari serba kekurangan dan keterbatasan”. Oleh karena itu tidaklah pantas
manusia sebagai ciptaan untuk menyombongkan dirinya. Allahlah yang pantas untuk
sombong, karena Allah adalah Dzat Yang Maha Sempurna. Allah swt memeberikan
keutamaan lebih kepada manusia dari pada makhluk yang lain. Manusia dilantik
menjadi Abdullah dan Khalifatullah dimuka bumi ini untuk memakmurkannya. Oleh
karena itu dibebenkan kepada manusia amanah Attaklif, dan diberikankan pula
kebebasan dan tanggung jawab memiliki serta memelihara nilai-nilai kemuliaan.
Kemuliaan
yang diberikan bukanlah karena bangsanya, warna kulitnya, kecantikannya,
perawakannya, harta, derajatnya, akan tetapi semata-mata karena iman dan dan
taqwanya kepada Allah swt.
Semua
itu dijelaskan dalam al-qur’an surat al-baqarah ayat 21
21. Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah
menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa,
Dan
Al-Baqarah ayat 30
30. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah)
di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."
Allah
swt juga menjelaskan hakikat ciptaan manusia dalam surat az-zariyat ayat 56:
artinya:
“ Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah
kepada-Ku ”
2. Hakikat Manusia Menurut Al-Qur’an
dan Hadist
Hakikat
manusia menurut al-Qur’an ialah bahwa manusia itu terdiri dari unsur jasmani,
unsur akal, dan unsur ruhani. Ketiga unsur tersebut sama pentingnya untuk di
kembangkan. Sehingga konsekuensinya pendidikan harus di desain untuk
mengembangkan jasmani, akal, dan ruhani manusia. Unsur jasmani merupakan salah
satu esensi ( hakikat ) manusia sebagai mana dijelaskan dalam al-Qur’an surat
al-baqarah ayat 168:
artinya
“ Hai sekalian manusia makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat
dari bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan karena
sesungguhnya syuetan itu adalah musuh yang nyata bagimu “
Akal
adalah salah satu aspek terpenting dalam hakikat manusia. Akal digunakan untuk
berpikir, sehingga hakikat dari manusia itu sendiri adalah ia mempunyai rasa
ingin, mempunyai rasa mampu, dan mempunyai daya piker untuk mengetahui apa yang
ada di dunia ini.
Sedangkan
aspek ruhani manusia di jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Hijr ayat 29 yang
artinya “ Tatkala aku telah menyempurnakan kejadiannya, aku tiupkan kedalamnya
ruhku.kedalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud “
Dalam
hal ini Muhammad Quthub menyimpulkan bahwa eksistensi manusia adalah jasmani,
akal, dan ruh, yang mana ketiganya menyusun manusia menjadi satu kesatuan. Lain
halnya dengan al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, beliau mendefinisaikan manusia
sebagai yang diciptakan dari satu gumpalan yang Allah gumpalkan dari segala unsur
tanah, yang tanah itu terdapat segala unsur yang baik, yang kotor, yang mudah,
yang sedih, yang mulia, dan yang hina.
Al-Imam
Ibnu Qayyim mendefinisikan manusia pada hakikat penciptaannya. Berangkat dari
asal penciptaannya, terlihat bahwa berbagai potensi ada pada diri seorang
manusia.
3.
Kedudukan
Manusia
Kesatuan
wujud manusia antara fisik dan psikis serta didukung oleh potensi-potensi yang
ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan al-taqwim. Dalam hubungannya dengan
Pendidikan Islam, menempatkan manusia pada posisi yang strategis, yaitu:
a.
Manusia sebagai makhluk yang mulia
b.
Manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi
c.
Manusia sebagai makhluk paedagogik
Berikut
ini secara lebih terperinci:
a. Manusia sebagai makhluk yang mulia
Manusia
adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan fitrahnya.
Manusia adalah hamba Allah (abdi Allah). Esensi dari ketaatan seorang hamba
adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan terhadap Tuhannya. Sebagai hamba
Allah manusia tidak bisa lepas dari kekuasaan-Nya karena fitrah untuk beragama.
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”
(QS.
Al-Ruum 30)
Berdasarkan
ayat di atas, menjelaskan bahwa bagaiamana pun primitifnya suku bangsa manusia,
mereka akan mengakui adanya Zat Yang Maha Kuasa di luar dirinya. Dengan
demikian, rasa tunduk dan kepatuhan manusia kepada Zat Yang Maha Agung,
merupakan tabiat asli (fitrah) manusia yang dimiliki oleh setiap manusia
sebagai nilai ubudiyah kepada-Nya.
“Dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku” (QS. Adz-Dzâriyât 56)
Ayat
tersebut menjelaskan bahwa tugas manusia dalam hidup ini berakumulasi pada
tanggung jawab mengabdi (beribadah) kepada Allah SWT.
b. Manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi
Fungsi
kekhalifahan manusia di muka bumi ini, dijelaskan oleh Al-Qur‟an berikut;
Artinya:
ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS.
Al-Baqarah 30)
Artinya:
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat” (QS Al-An’am 165)
Ayat-ayat
di atas disamping menjelaskan kedudukan manusia di alam raya ini sebagai
khalifah, juga memberi isyarat tentang perlunya sikap moral atau etika yang
harus ditegakkan dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya.
Untuk
melaksanakan tugasnya sebagai khalifah, Allah telah memberikan kepada manusia
seperangkat potensi (fitrah) berupa aql, qalb dan nafs. Namun demikian,
aktualisasi fitrah itu tidaklah otomatis berkembang melainkan tergantung pada
manusia itu sendiri. Untuk itu, Allah SWt menurunkan wahyu-Nya kepada para Nabi
dan Rosul, agar menjadi pedoman bagi manusia dalam mengaktualisasikan fitrahnya
secara utuh, selaras dengan tujuan penciptaanya, sehingga manusia dapat tampil
sebagai makhluk Allah yang tinggi martabatnya.
Ahmad
Hasan Firhat membedakan kedudukan kekhalifahan manusia pada dua bentuk:
Pertama,
khalifah kauniyah. Dimensi ini mencakup wewenang manusia secara umum yang telah
dianugerahkan Allah SWT untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta beserta
isinya bagi kelangsungan umat manusia di muka bumi. Dalam konteks ini, wewenang
manusia meliputi pemaknaan yang bersifat umum, tanpa dibatasi oleh agama apa
yang mereka yakini. Artinya label kekhalifahan yang dimaksud diberikan kepada
semua manusia sebagai penguasa alam semesta.
Jika
dimensi ini yang dijadikan standar dalam melihat predikat manusia sebaga
khalifah Allah fial-ardh, maka akan berdampak negatif bagi kelangsungan
kehidupan manusia dan alam semesta. Manusia dengan kekuatannya akan
mempergunakan alam semesta sebagai konsekuensi kekhalifahannya tanpa control
dan melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai Ilahiah. Akibatnya keberadaannya
di muka bumi, bukan lagi sebagai pembawa kemakmuran, namun cenderung berbuat
kerusakan dan merugikan makhluk Allah lainnya.
Kedua,
khalifah Syar’iyat; Dimensi ini wewenang Allah yang diberikan kepada manusia
untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja untuk melaksanakan tugas dan
tanggung jawab ini, predikat khalifah secara khusus ditujukan kepada
orang-orang mukmin. Hal ini dimaksudkan agar dengan keimanan yang dimilikinya,
mampu menjadi pilar dan control dalam mengatur mekanisme alam semesta, sesuai
dengan nilai-nilai ilahiyah yang telah digariskan Allah lewat ajaran-Nya.
Dengan prinsip ini, manusia akan senantiasa berbuat kebaikan dan memanfaatkan
alam semesta ini demi kemaslahatan umat manusia.
c. Manusia sebagai makhluk paedagogik
Makhluk
paedagogik ialah makhluk Allah yang dilahirkan membawa potensi dapat dididik
dan dapat mendidik.40 Manusia adalah makhluk paedagogik, karena memiliki
potensi dapat dididik dan mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi.
Manusia dilengkapi dengan fitrah Allah, berupa bentuk atau wadah yang dapat
diisi dengan berbagai kecakapan dan keterampilan yang dapat berkembang, sesuai
dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia. Pikiran, perasaan dan
kemampuannya berbuat merupakan komponen dari fitrah itu.
“(tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada
peubahan pada fitrah Allah.” (QS. Ar-Rum 30)
Manusia
adalah makhluk yang dapat berpikir, merasa dan bertindak dan terus berkembang.
Fitrah inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Dari sinilah
semakin jelas bahwa manusia adalah makhluk paedagogik. Meskipun demikian, jika
potensi itu tidak dikembangkan, niscaya ia akan kurang bermakna dalam
kehidupan. Oleh karena itu perlu dikembangkan dan pengembangan itu senantiasa
dilakukan dalam usaha dan kegiatan pendidikan. Teori nativis dan empiris yang
dipertemukan oleh Kerschenteiner dengan teori konvergensinya, telah ikut
membuktikan bahwa manusia itu adalah makhluk yang dapat dididik dan mendidik
(paedagogik).
4. Tugas dan peran manusia
a. Beribadah
kepada Allah SWT Beribadah kepada Allah SWT merupakan tugas pokok bahkan
satu-satunya tugas dalam kehidupan manusia sehingga apa pun yang dilakukan oleh
manusia dan sebagai apa pun dia seharusnya dijalani dalam kerangka ibadah
kepada Allah SWT sebagaimana firman-Nya yang artinya “Dan Aku tidak
menciptakan manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku.” . Agar segala yang
kita lakukan bisa dikategorikan ke dalam ibadah kepada Allah SWT paling tidak
ada tiga kriteria yang harus kita penuhi lakukan segala sesuatu dgn niat yang
ikhlas karena Allah SWT. Keikhlasan merupakan salah satu kunci bagi diterimanya
suatu amal oleh Allah SWT dan ini akan berdampak sangat positif bagi manusia yang
melaksanakan suatu amal karena meskipun apa yang harus dilaksanakannya itu
berat ia tidak merasakannya sebagai sesuatu yang berat apalagi amal yang memang
sudah ringan. Sebaliknya tanpa keikhlasan amal yang ringan sekalipun akan
terasa menjadi berat apalagi amal yang jelas-jelas berat utk dilaksanakan tentu
akan menjadi amal yang terasa sangat berat untuk mengamalkannya.
- Lakukan
segala sesuatu dgn cara yang benar bukan membenarkan segala cara
sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh
Rasul-Nya. Manakala seorang muslim telah menjalankan segala sesuatu sesuai
dengan ketentuan Allah SWT maka tidak ada penyimpangan-penyimpangan dalam
kehidupan ini yang membuat perjalanan hidup manusia menjadi sesuatu yang
menyenangkan.
- Lakukan
segala sesuatu dengan tujuan mengharap ridha Allah SWT dan ini akan
membuat manusia hanya punya satu kepentingan yakni ridha-Nya. Bila ini yang
terjadi maka upaya menegakkan kebaikan dan kebenaran tidak akan menghadapi
kesulitan terutama kesulitan dari dalam diri para penegaknya hal ini krn
hambatan-hambatan itu seringkali terjadi krn manusia memiliki
kepentingan-kepentingan lain yang justru bertentangan dengan ridha Allah
SWT.
Tanggung jawab manusia sebagai :
- Sebagai
khalifatullah :
·
Mewujudkan
kemakmuran di muka bumi,
·
Menghasilkan
sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan,
·
Memelihara
bumi sebagai tempat tinggal.
- Sebagai abdi/
hamba allah
·
Taat,
tunduk dan patuh kepada perintah Allah,
·
Menghambkan
diri kepada-Nya bukan kepada nafsu,
·
Menjalankan
aktifitas dengan berpedoman kepada ketentuan Allah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa pada hakikatnya Allah swt
menciptakan manusia di muka bumi ini adalah semata-semata untuk mengabdi
kepada-Nya dan untuk menjadi khalifah dimuka bumi. Hakikat penciptaan manusia
terdiri dari tiga unsur, yaitu unsur jasmani, unsur akal, dan unsur ruhani,
yang mana ketiga unsur tersebut menjadi satu kesatuan pada diri manusia.
Sebagai
makhluk yang dibekali dengan berbagai kelebihan jika dibandingan denagn makhluk
lain, sudah sepatutnya manusia mensyukuri anugrah tersebut dengan berbagai
cara, diantaranya dengan memaksimalkan semua potensi yang ada pada diri kita.
Kita juga dituntut untuk terus mengembangkan potensi tersebut dalam rangka
mewujudkan tugas dan tanggung jawab manusia sebagai makhluk dan khalifah di
bumi.
B. Saran
Dari pembahasan
di atas dan kesimpulan yang telah ada, kita telah mengetahui hakikat manusia di
muka bumi ini menurut pandangan islam, tugas manusia diciptakan, dan juga peran
manusia diciptakan oleh Allah tidak lain untuk menyembah Allah dam bermanfaat bagi
sesama manusia. Untuk itu setelah kita mengetahuinya, tahap selanjutnya
memahaminya, setelah itu kita dapat mengamalkannya dalam kehidupan kita
sehari-hari. Harapannya adalah semakin tebalnya iman kita kepada Allah, dan
dapat dijadikan intropeksi diri kita masing-masing sebagai umat islam dan hamba
Allah. Semoga kita termasuk orang yang bertakwa dan berada di jalan yang lurus.
BAB
IV
DAFTAR
PUSTAKA
Al-
Aliyy, Al-Qur’an dan terjemahannya. (Bandung : CV Diponegoro, 2005).
Anas
Abdul Malik al-Quz, Ibnu Qayyim Berbicara tentang Manusia dan Semesta, Pustaka
Azzam: Jakarta, (2001), Hal: 21
Prof.
Dr. Abuddin Nata, MA, Filasafat Pendidikan Islam, Gama Media Pratama: Jakarta,
(2005), Hal: 81